BERAS FORTIFIKASI
Fortifikasi
Senin, 02 Mei 2016
Fortifikasi Yodium
Defisiensi Yodium dihasilkan dari kondisi geologis yang irreversiber itu sebabnya, penganekaragaman makanan dengan menggunakan pangan yang tumbuh di daerah dengan tipe tanah dengan menggunakan pangan yang sama tidak dapat meningkatkan asupan Yodium oleh individu ataupun komunitas. Diantara strategi-strategi untuk penghampusan GAKI, pendekatan jangka panjang adalah fortifikasi pangan dengan Yodium. Sampai tahun 60an, beberapa cara suplementasi yodium dalam dies yang telah diusulkan berbagai jenis pangan pembawa seperti garam, roti, susu, gula, dan air tela dicoba Iodisasi garam menjadi metode yang paling umum yang diterima di kebanyakan negara di dunia sebab garam digunakan secara luas dan serangan oleh seluruh lapisan masyarakat. Prosesnya adalah sederhana dan tidak mahal. Fortifikasi yang biasa digunakan adalah Kalium Yodida (KI) dan Kalium Iodat (KID3). Iodat lebih stabil dalam ‘impure salt ‘ pada penyerapan dan kondisi lingkungan (kelembaban) yang buruk penambahan tidak menambah warna, penambahan dan rasa garam. Negara-negara yang dengan program iodisasi garam yang efektif memperlihatkan pengurangan yang berkesinambungan akan prevalensi GAKI. (Siagian, 2003)
Contoh : Beras Fortifikasi Iodium
Kebutuhan iodium untuk setiap kelompok umur berbeda-beda. Kebutuhan iodium untuk anakanak adalah 40-120 μg/hari, orang dewasa 150 μg/hari, sedangkan untuk ibu hamil dan menyusui ditambah masing-masing 25 μg/hari dan 150 μg/hari. Pembuatan beras beriodium sangat sederhana karena tidak perlu menggunakan peralatan khusus. Dengan penambahan alat pengkabut fortifikan iodium pada komponen alat penyosoh akan diperoleh hasil beras giling yang mengandung iodium. Fortifikan yang digunakan adalah iodat 1 ppm. Larutan fortifikan dikabutkan dengan bantuan tekanan udara 40 psi yang berasal dari kompresor, sehingga terjadi kabut fortifikan iodium. Debet fortifikan yang digunakan 4-5 l/jam tergantung pada kekeringan beras yang di fortifikasi(DEPTAN,2008)
Syarat untuk fortifikasi wajib adalah
1. Makanan yang umumnya selalu ada disetiap rumah tangga dan dimakan secara teratur dan terus-menerus oleh masyarakat termasuk masyarakat miskin.
2. Makanan itu diproduksi dan diolah oleh produsen yang terbatas jumlahnya, agar mudah diawasiproses fortifikasinya.
3. Tersedianya teknologi fortifikasi untuk makanan yang dipilih.
4. Makanan tidak berubah rasa, warna dan konsistensi setelah difortifikasi.
5. Tetap aman dalam arti tidak membahayakan kesehatan. Oleh karena itu program fortifikasi harus diatur oleh undang-undang atau peraturan pemerintah, diawasi dan dimonitor, serta dievaluasi secara teratur dan terus menerus
6. Harga makanan setelah difortifikasi tetap terjangkau daya beli konsumen yang menjadi sasaran.(Soekirman.2012)
Atas dasar persyaratan tersebut, makanan yang umumnya difortifikasi (wajib) terbatas pada jenis makanan pokok (terigu, jagung, beras), makanan penyedap atau bumbu seperti garam, minyak goreng, gula, kecap kedele, kecap ikan, dan Mono Sodium Glutamat (MSG).
Misalnya di
RRC : kecap kedele dan kecap ikan difortifikasi dengan zat besi ; tepung terigu dengan zat besi, asam folat, dan vitamin A ; beras dengan zat besi dan direncanakan juga dengan vitamin A.
India : tepung terigu dengan zat besi, asam folat, dan vitamin B ; gula dengan vitamin A ; minyak dan lemak, teh, dan susu dengan vitamin A.
Philipina : fortifikasi tepung terigu dengan zat besi, asam folat dan vitamin A. Thailand : mie dengan zat besi, yodium dan vitamin A ; beras dengan zat besi, vitamin B1, B2, B6, dan niacin.
Vietnam : kecap ikan dengan zat besi ; gula dengan vitamin A.
Amerika Latin :tepung terigu dan tepung jagung difortifikasi dengan zat besi ; gula dengan vitamin A.
Indonesia : Garam dengan Yodium, tepung terigu dengan zat besi, seng, asam folat, vitamin B1 dan B2, dan minyak goreng dengan vitamin A.
Fortifikasi Pangan
Fortifikasi pangan adalah penambahan satan atan lebih zat gizi (nutrien) ke pangan. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi populasi. harus diperhatikan bahwa peran pokok dari fortifikasi pangan adalah pencegahan detisiensi: dengan demikian menghindari terjadinya gangguan yang membawa kepada penderitaan manusia dan kerugian sosio ekonomis. Namun demikian, fortitkasi pangan juga digunakan untuk menghapus dan mengendalikan defisiensi zat gizi dan gangguan yang diakibatkannya.Langkah-langkah pengembangan program fortifikasi pangan, antara lain adalah (Siagian.2003):
1. Menentukan prevalensi defisiensi mikronutrien
2. Segmen populasi (menentukan segmen)
3. Tentukan asupan mikronutrien dari survey makanan
4. Dapatkan data konsumsi untuk pengan pembawa (vehicle) yang potensial
5. Tentukan availabilitas mikronutrien dari jenis pangan
6. Mencari dukungan pemerintah (pembuat kebijakan dan peraturan)
7. Mencari dukungan industri pangan
8. Mengukur (Asses) status pangan pembawa potensial dan cabang industri
pengolahan(termasuk suplai bahan baku dan penjualan produk)
9. Memilih jenis dan jumlah fortifikasi dan campurannya
10. Kembangkan teknologi fortifikasi
11. Lakukan studi pada interaksi, potensi stabilitas, penyimpangan dan kualitas
organoleptik dari produk fortifikasi.
12. Tentukan bioavailabilitas dari pangan hasil fortifikasi
13. Lakukan pengujian lapangan untuk menentukan efficacy dan kefektifan
14. Kembangkan standar-standar untuk pangan hasil fortifiksi
15. Defenisikan produk akhir dan keperluan-keperluan penyerapan dan pelabelan
16. Kembangkan peraturan-peraturan untuk mandatory compliance
17. Promosikan (kembangkan) untuk meningkatkan keterterimaan oleh konsumen.
Sebenarnya, fortifikasi makanan mengacu kepada beberapa konsep yang luas dan mungkin dilakukan untuk beberapa alasan. Pertama adalah untuk mengembalikan zat gizi yang hilang selama pengolahan makanan, proses ini disebut sebagai enrichment. Dalam hal ini, zat gizi ditambahkan ke dalam makanan dengan jumlah yang hampir mendekati jumlah zat awal sebelum pemrosesan makanan. Alasan kedua adalah untuk menambah zat gizi yang tidak terdapat dalam makanan secara alami, proses ini disebut sebagai fortifikasi. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi populasi.
Fortifikasi Vitamin A
Fortifikasi pangan dengan vitamin A memegang peranan penting untuk mengatasi problem kekurangan vitamin A dengan menjembatani jurang antara asupan vitamin A dengan kebutuhannya. Fortifikasi dengan vitamin A adalah strategi jangka panjang untuk mempertahankan kecukupan vitamin A. Kebanyakan vitamin yang diproduksi secara komersial (secara kimia) identik dengan vitamin yang terdapat secara alami dalam bahan makanan. Vitamin yang larut dalam lemak (seperti vitamin A) biasanya tersedia dalam bentuk larutan minyak (oil solution), emulsi atau kering, keadaan yang stabil yang dapat disatukan/digabungkan dengan campuran multivitamin-mineral atau secara langsung ditambahkan ke pangan. Bentuk komersial yang paling penting dari vitamin A adalah vitamin A asetat dan vitamin A palmitat. Vitamin A dalam bentuk retionol atau karoten (sebagai beta-karoten dan beta-apo-8’ karotenal) dapat dibuat secara komersial untuk ditambahkan ke pangan. Pangan pembawa seperti gula, lemak, dan minyak, garam, the, sereal, dan monosodium glutamat (MSG) telah (dapat) difortifikasi oleh vitamin A. (Siagian, 2003)
Fortifikasi Besi
Dibandingkan dengan strategi lain yang digunakan untuk perbaikan anemi gizi besi, fortifikasi zat gizi besi dipandang oleh beberapa peneliti merupakan strategi termurah untuk memulai, mempertahankan, mencapai/mencakup jumlah populasi yang terbesar, dan menjamin pendekatanjangka panjang (Cook and Reuser, 1983). Fortifikasi Zat besi tidak menyebabkan efek samping pada saluran pencernaan. Inilah keuntungan pokok dalam hal keterterimaannya oleh konsumen dan pemasaran produk-produk yang diperkaya dengan besi. Penetapan target penerima fortifikasi zat besi, yaitu mereka yang rentan defisie zat besi, merupakan strategi yang aman dan efektif untuk mengatasi masalah anemi besi (Ballot, 1989). Pilihan pendekatan ditentukan oleh prevalensi dan beratnya kekurangan zat besi (INAAG, 1977). Tahapan kritis dalam perencanaan program fortifikasi besi adalah pemilihan senyawa besi yang dapat diterima dan dapat diserap (Cook and Reuser, 1983). Harus diperhatikan bahwa wanita hamil membutuhkan zat besi sangat besar selama akhir trimester kedua kehamilan. Terdapat beberapa iortifikan yang umum digunakan untuk fortifikasi besi seperti besi sulfat besi glukonat, besi laktat, besi ammonium sulfat, dan lain-lain. (Siagian, 2003)
JENIS-JENIS FORTIFIKASI
Industri pangan/makanan memegang peranan kunci dalam setiap program fortifikasi di setiap negara Kekurangan zat gizimikro adalah problem kesehatan masyarakat. Beberapa aspek program fortifikasi pangan, bagaimanapun, seperti penentuan prevalensi kekurangan, pemilihan intervensi yang tepat, penghitungan taraf asupan makanan (zat gizi), konsumsi pangan pembawa sehari-hari dan fortifikan yang akan ditambahkan, dan juga teknologinya (pengembangan teknologi), harus dievaluasi oleh otoritas ilmu pengetahuan di bidang kesehatan masyarakat dan pertanian, dan yang lainnya.
Fortifikasi Yodium
Defisiensi Yodium dihasilkan dari kondisi geologis yang irreversiber itu sebabnya, penganekaragaman makanan dengan menggunakan pangan yang tumbuh di daerah dengan tipe tanah dengan menggunakan pangan yang sama tidak dapat meningkatkan asupan Yodium oleh individu ataupun komunitas. Diantara strategi-strategi untuk penghampusan GAKI, pendekatan jangka panjang adalah fortifikasi pangan dengan Yodium. Sampai tahun 60an, beberapa cara suplementasi yodium dalam dies yang telah diusulkan berbagai jenis pangan pembawa seperti garam, roti, susu, gula, dan air tela dicoba Iodisasi garam menjadi metode yang paling umum yang diterima di kebanyakan negara di dunia sebab garam digunakan secara luas dan serangan oleh seluruh lapisan masyarakat. Prosesnya adalah sederhana dan tidak mahal. Fortifikasi yang biasa digunakan adalah Kalium Yodida (KI) dan Kalium Iodat (KID3). Iodat lebih stabil dalam ‘impure salt ‘ pada penyerapan dan kondisi lingkungan (kelembaban) yang buruk penambahan tidak menambah warna, penambahan dan rasa garam. Negara-negara yang dengan program iodisasi garam yang efektif memperlihatkan pengurangan yang berkesinambungan akan prevalensi GAKI. (Siagian, 2003)
Contoh : Beras Fortifikasi Iodium
Kebutuhan iodium untuk setiap kelompok umur berbeda-beda. Kebutuhan iodium untuk anakanak adalah 40-120 μg/hari, orang dewasa 150 μg/hari, sedangkan untuk ibu hamil dan menyusui ditambah masing-masing 25 μg/hari dan 150 μg/hari. Pembuatan beras beriodium sangat sederhana karena tidak perlu menggunakan peralatan khusus. Dengan penambahan alat pengkabut fortifikan iodium pada komponen alat penyosoh akan diperoleh hasil beras giling yang mengandung iodium. Fortifikan yang digunakan adalah iodat 1 ppm. Larutan fortifikan dikabutkan dengan bantuan tekanan udara 40 psi yang berasal dari kompresor, sehingga terjadi kabut fortifikan iodium. Debet fortifikan yang digunakan 4-5 l/jam tergantung pada kekeringan beras yang di fortifikasi(DEPTAN,2008)
FORTIFIKASI MAKANAN
Fortifikasi pangan (pangan yang lazim dikonsumsi) dengan zat gizi mikro adalah salah satu strategi utama yang dapat digunakan untuk meningkatkan status mikronutrien pangan. Fortifikasi harus dipandang sebagai upaya (bagian dari upaya) untuk memperbaiki kualitas pangan selain dari perbaikan praktek-praktek pertanian yang baik (good agricultural practices ), perbaikan pengolahan dan penyimpangan pangan ( good manufacturing practices ), dan memperbaiki pendidikan konsumen untuk mengadopsi praktek-praktek penyediaan pangan yang baik.
Fortifikasi pangan adalah penambahan satan atan lebih zat gizi (nutrien) kepangan. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi populasi. Harus diperhatikan bahwa peran pokok dari fortifikasi pangan adalah pencegahan detisiensi: dengan demikian menghindari terjadinya gangguan yang membawa kepada penderitaan manusia dan kerugian sosio ekonomis. Namun demikian, fortitkasi pangan juga digunakan untuk menghapus dan mengendalikan defisiensi zat gizi dan gangguan yang diakibatkannya. Untuk menggambarkan proses penambahan zat gizi ke pangan, istilah-istilah lain seperti enrichment (pengkayaan), nutrification (Harris, 1968) atan restoration telah saling dipertukarkan, meskipun masing-masing mengimplikasikan tindakan spesifik. Fortifikasi mengacu kepada penambahan zat-zat gizi pada taraf yang lebih tinggi dari pada yang ditemukan pada pangan asal/awal atau pangan sebanding. Enrichment biasanya mengacu kepada penambahan satu atan lebih zat gizi pada pangan asal pada taraf yang ditetapkan dalam standar intemasional (indentitas pangan). Restoration mengacu kepada penggantian zat gizi yang hilang selama proses pengolahan, dan nutrification berarti membuat campuran makanan atan pangan lebih bergizi. Menurut Banernfeind (1994) istilah nutrification lebih spesifik terhadap ilmu gizi, sementara semua istilah-istilah yang lain diadopsi dari disiplin dan aplikasi lain. (Siagian, 2003)
Langganan:
Postingan (Atom)